REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Hasil penetilian Tim Gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) selama beberapa tahun menyimpulkan adanya sesar aktif yang membelah Kota Surabaya. Sesar aktif yang dikenal sebagai Sesar Kendeng ini diperkirakan bisa menimbulkan gempa darat dengan skal lebih dari 6.

Keaktifan Sesar Kendeng ini berdasarkan hasil pengukuran deformasi permukaan tanah di beberapa tempat di Jawa Timur dan di Nusa Tenggara Timur melalui hasil pengukuran GPS geodetik, tercatat bergerak 5 mm per tahun. Data lain yang mendukung sesar ini, yakni kegempaan di Klangon Saradan yang hampir terjadi tiap bulan dengan skala 3 – 4 dan gempa bumi pada tahun 1836 mengguncang Ploso Jombang dengan skala intensitas VII-VIII MMI (Mercally Modified Intensity).

Selain itu, gempa yang terjadi di Pasuruan tahun 1889 (VI MMI), Rembang-Surabaya (VII MMI), dan gempa dangkal yg terjadi pada 10 September 2007. Meski skalanya relatif kecil, sekitar 4,9 SR, gempa tersebut merontokkan 234 rumah di tiga kecamatan, yakni Asembagus, Banyuputih, dan Jangkar Kabupaten Situbondo.

Kepala Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim LPPM ITS, Lalu Muhamad Jaelani mengatakan, sesar aktif di daratan umumnya sangat merusak. Hal ini dikarenakan besarnya guncangan merupakan fungsi kekuatan sumber gempa dan jarak sumber gempa. “Walau kekuatan sumber gempanya kecil, tapi kalau letaknya yang dekat maka guncangannya akan besar,” katanya dalam acara Diskusi Terfokus Gempa Surabaya dan Sekitarnya, di gedung Rektorat ITS, Kamis (13/10).

Sebaliknya, walaupun kekuatan sumber gempanya besar, tapi kalau jaraknya jauh sekali maka guncangan yang dirasakan kecil. Sebab, proses penjalaran gempa sewaktu menempuh jarak tersebut secara umum akan membuat (amplitudo) gelombang gempa menjadi semakin kecil.

Menurutnya, keberadaan patahan aktif merupakan salah satu pertimbangan penting dalam perencanaan infrastruktur. Hal ini menjadi kesempatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya untuk mengkaji respon terhadap gempa di sepanjang Sesar Kendeng secara sistematik dan terintegrasi.

Kajian tersebut paling tidak meliputi asesmen bangunan, asesmen tanah dan asesmen seismologi gempa serta keberadaan zona Sesar Kendeng menjadi sangat penting. Apalagi dari penelitian sebelumnya bahwa di selatan Jawa Timur ada seismik gap yang berpotensi gempa sebesar 8,5 SR. “Oleh sebab itu, ITS berinisiatif membentuk konsorsium kelompok riset gempa untuk menindaklanjuti penelitian ini,” ungkapnya.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, Kota Surabaya berdiri di daerah aluvium. Kondisi itu tidak hanya berbahaya ketika ada gempa-gempa di dekatnya. Melainkan gempa-gempa jauh akibat subtitusi lempeng di samudera Hindia juga dapat berpengaruh pada keretakan di Surabaya. “Karena Surabaya sedimennya tebal, tanah yang lunak, itu bisa terjadi amplifikasi, pergeseran getaran. Tapi selama ini belum pernah terjadi,” terang Daryono.

 

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/13/oezsbt361-potensi-gempa-di-surabaya-sangat-merusak